Album Kompilasi tersebut persembahan D'Jenks bertajuk Soundemic Vol.1
Seputarmusikindo - Ada sebuah
tantangan tersendiri saat sebuah album kompilasi dibuat. Apalagi bila konten
album tersebut memuat banyak lagu dari berbagai aliran, gaya, atau sebut saja
genre musik.
Bila sekadar nyomot dan
menyatukan lagu-lagu lintas-genre tersebut dalam satu kemasan kompilasi, ya
simple saja. Tapi apakah metode asal nyomot tersebut bisa dipertanggung
jawabkan, baik dari sisi musikalitas hingga komersil? Biasanya sih tidak, serta
berakhir tak jelas tujuannya.
Di sini butuh ‘pagar’ atau konsep
yang membentuk ‘lapangan bermain’si album kompilasi tersebut. Paling tidak
audiens paham,sebenarnya apa sih yang ingin disajikan si album.
Dengan demikian selama
menyimaknya, audiens masih berada di koridor yang sama. Begitu juga dengan
album Soundemic Vol. 1 ini. Sekilas ketika kita melihat playlist yang ada,
melibatkan 11 band dan musisi dengan varian genre serta warna beragam, mungkin
kita dengan mudah menilainya asal nyomot saja.
Nyatanya tidak! Tak hanya lintas
genre, para pengisi kompilasi ini juga bisa beda gaya/warna walau satu genre.
Misal ada tiga band yang selama ini diketahui ada di barisan Jamaican Sound
(Sound Solution, Sentimental Moods, dan Djenks), namun uniknya masing-masing
memiliki warna tersendiri di karya-karya mereka. Atau di ‘mahzab’ elektronik dan
hip-hop, sebut saja seperti SickStudio Clan dan Dangerdope, atau bisa jadi
Racun Kota. Coba simak, kita akan tersirat benang merah elektroniknya, namun
masing-masing memilih unsur pengayaan musiknya dengan cara dan keunikan
tersendiri.
Bahkan Hahawall, Syifa Sativa,
dan juga The Sleting Down, yang terdengar seperti teralienasi, beda sendiri,
dengan teman-teman kompilasinya. Sleting Down dengan warna rockabilly-nya tetap
terdengar nyambung dan melebur dengan lainnya. Lalu warna balada folky ala
Syifa Sativa, yang bukannya bikin drop dan tenggelam di tengah kompilasi yang
didominasi keriuhan suara dan efek-efek gahar, tapi malah stand out, jauh dari
diremehkan.
Terdeteksi bahwa dua band ini
tetap memiliki rumpun akar yang sama: attitude rock’n roll dengan filosofi
penuh ekplorasi, pemberontakan, dan kejahilan! Apalagi bila bicara Hahawall,
band asal Jakarta, yang mengajak audiens-nya berkontemplasi dengan
sajian-sajian noise raungan gitar,efek, bahkan harmoni nyeleneh. Apalagi kalau
bukan (lagi-lagi) soal filosofi di atas yang melatarbelakangi kreativitas
mereka?
Benang merah ini terus menjalar
hingga ke band-band lawas yang terhitung legendaris di skena punk dan
keluarganya seperti The Sabotage dan The Stocker ini. Dengan tekstur warna
musik serta sound mereka yang sudah jadi trade mark masing-masing, mereka tetap
produktif berkarya, terus mewarnai circle musikal yang berpengaruh tak hanya di
kisaran skena namun juga umum. Percuma lah bila kita bermain kata untuk
bercerita tentang mereka, langsung saja simak karya-karya mereka di kompilasi
ini. Ditanggung kita akan menagih!
Jadi apa dasar pemilihan
lagu-lagu ini hingga sah dinyatakan sebagai album kompilasi dengan konsep yang
bukan asal ‘nyomot’? Lepas dari masalah warna musik, genre, dan sejibun masalah
teknis lainnya, penamaan Soundemic paling tidak secara sederhana bisa
diterjemahkan sebagai ‘musik-musik selama pandemic’.
Pastinya musik-musik yang
dijejali banyak gizi dan keasyikan bila kita menyimaknya di album ini, sangat
pantas. Tak hanya dinikmati, namun juga mampu memperkaya khasanah musikalitas
kita. Ya, menggambarkan betapa kaya dan beragamnya musik lintas-genre yang ada
di negeri ini.